Bismillah

Bismillah

Selasa, 19 September 2023

Ketika Kesempurnaan Dipertanyakan, Sudahkah Kamu Melihat dari dalam Dirimu?

Halo teman-teman, terima kasih sudah mampir ke sini ya. Saya mau review naskah novel lagi, nih. Kali ini dari teman satu literasi di Parade Kupa5 LovRinz yakni buku Perfect Siblings. Check this out!

• Identitas Buku

Judul:Perfect Siblings (Everyone has own definition of perfect)

Penulis: Yunita Chearrish

Penerbit: LovRinz Publishing

Tahun Terbit: 2021

Tebal buku: 175 halaman

ISBN: 978-623-5598-01-7

• Sinopsis Ringkas

Untuk bagian sinopsis ringkas, saya tuliskan ulang blurb pada halaman belakangnya, ya.

“ ‘Perfect Siblings’ adalah julukan untuk Jessie Mayline dan Judy Meline yang sempurna dengan caranya masing-masing.Jessie selalu menarik perhatian karena penampilan luarnya dan sifat anggunnya, sedangkan Judy memiliki otak jenius hingga bisa mengikuti program akselerasi.

Lantas, bagaimana jika mereka dipertemukan dengan pribadi yang berbanding terbalik dengan pesona keduanya?

Adapun Tomari Shinou dengan prestasi terendah, juga Genta Harvey si gemuk yang sering dibuli. Siapa sangka masing-masing sudah merapal nama untuk diabadikan dalam hati.

Kalimat ‘everyone has own definition of perfect’ sungguh mewakilkan para tokoh di dalamnya.”

Berdasarkan dari blurb-nya, sudah terbayang ya, jalannya cerita akan menyoroti 4 tokoh utamanya. Semuanya punya keunikan dan ciri khas masing-masing yang dideskripsikan dengan baik oleh penulis.

• Opening Cerita

Opening cerita dibuat dengan menggunakan tanda tanya, serta menggunakan POV 2 dalam narasinya:“Jika mendengar tentang murid pindahan, apa tanggapanmu?”

Menurut saya, pembuka kalimat novel dengan gaya seperti itu kurang efektif digunakan. Memang, saya paham bahwa tujuan penulis menggunakan kata “kamu” yakni memancing pembaca untuk ikut terlibat di dalam cerita, tapi di sisi lain, justru menjadi sebuah ambiguitas dalam POV, apalagi, subjek “kamu” aka pembaca, tidak lagi digunakan pada kelanjutan ceritanya.

Then, pada bab 1 perkenalan tokoh juga cukup baik, tidak dump info, karena penjelasan tentang karakter tokoh cukup mengalir pada gerakan tokoh, gestur, dan cara para tokohnya berinteraksi.

• Ide dan Tema Novel

Ide dan tema cerita yang diambil masih sangat umum. Keumuman ini justru menjadi satu hal yang realistis karena para pembaca bisa merasakan relate pada ceritanya. Tentang anggapan cantik dan ganteng secara global, tentang definisi sempurna pada diri seseorang, dan tentang cinta yang tulus.

Dengan ide yang sangat dekat dengan pembaca, tentu naskah ini lebih mudah untuk diterima semua kalangan, termasuk anak-anak. Saya boleh katakan, bahwa novel ini bisa dibaca mulai usia 10+. Tidak ada bahasa yang terlalu mendayu-dayu, sehingga akan lebih mudah dipahami. Tidak ada adegan yang vulgar, sehingga aman untuk dibaca semua pihak.

• Catatan untuk Penulis

Secara teknis, saya merasa bahwa penulis sudah memiliki jam terbang yang cukup baik dalam menulis. Namun, tentu saja ada beberapa kekurangan yang saya temukan di dalam naskah ini, sesuai dengan pengalaman dan pemahaman saya selama ini. Apa aja ya?

Pada halaman 11 : Bel istirahat yang selalu dinanti akhirnya tiba.

Kalimat tersebut menurut saya kurang lengkap secara tatanan S-P-O-K karena tidak ada subjek di dalamnya. Padahal, kalimat itu adalah pembuka paragraf. Maka, ada baiknya kalau Subjek tertulis dengan jelas, meski pada kalimat selanjutnya dijabarkan bahwa “para murid” yang menantikan bel tersebut.

Jika tak ada penjelasannya, maka kalimat tersebut menjadi kurang berterima karena menimbulkan pertanyaan : siapa yang menunggu bel istirahat? Apakah semua warga sekolah menanti jam istirahat? Siswa saja yang menanti bel istirahat, atau para guru juga menantinya?

Pada halaman 11 juga terdapat kalimat yang ambigu secara penyampaian: Bukannya sombong, hanya saja tidak ada yang bisa beradaptasi dengan kebiasaannya mengingat hampir mustahil menemukan teman yang bisa melewatkan jam istirahat tanpa makan sesuatu.

Penerimaan saya saat pertama kali membaca kalimat tersebut: si tokoh punya keterampilan mengingat yang baik.

Setelah saya baca ulang, kalimat tersebut terasa punya makna lain jika ditambah tanda koma sebagai jeda : Bukannya sombong, hanya saja tidak ada yang bisa beradaptasi dengan kebiasaannya(,) mengingat hampir mustahil menemukan teman yang bisa melewatkan jam istirahat  tanpa makan sesuatu.

Maknanya, orang-orang tidak bisa berteman dengan tokoh karena dia jarang ke kantin, padahal waktu istirahat adalah waktu yang sayang untuk dilewatkan dalam mengisi perut.

Belakangan, saya paham bahwa maksud kalimat tersebut adalah tentang kemampuan mengingat tokoh Judy yang lebih baik dibanding kakaknya.

Saran perbaikan agar tidak ambigu: Bukannya sombong, hanya saja tidak ada (seorang pun) yang bisa beradaptasi dengan kebiasaannya (dalam) mengingat(sesuatu/ hal random) (secara tiba-tiba), (sehingga) hampir mustahil menemukan teman yang bisa melewatkan jam istirahat tanpa makan sesuatu.

Saya melihat masih ada beberapa kata tidak baku seperti “mempesona”>> memesona, “nampak”>> tampak, dan “frustasi”>> frustrasi.

Selanjutnya, masih banyak terdapat kata-kata yang terlampau panjang, tidak diiringi konjungsi yang tepat, sehingga saya pribadi merasa ‘ngos-ngosan’ saat membacanya.  Jika dimaksudkan untuk mempercepat tempo cerita, tentu akan sangat dimaklumi, tapi saya rasa bahwa kalimat panjang dalam naskah ini masih bisa dijadikan satu paragraf utuh, dengan memotongnya dalam beberapa kalimat.

Saya ambilkan tiga contoh kalimatnya, nih.

Halaman 30.

‘Satu per satu mulai maju ke depan untuk menulis nama sendiri di bawah nama ketua kelompok sesuai urutan bangku selagi Jessie dihantui perasaan bimbang karena bingung harus memilih siapa.’

Ada 3 kalimat bertingkat di sana, sehingga membuat kalimat ini terasa begitu panjang dan tidak berjeda.

Saran perbaikan: Satu per satu penghuni kelas mulai maju untuk menulis nama masing-masing di bawah nama ketua kelompok sesuai urutan bangku. Sementara itu, Jessie yang duduk di bangku tengah merasa dihantui perasaan bimbang karena bingung memilih ketua kelompok yang akan belajar bersamanya.

Halaman88.

‘Tomari segera menarik Genta ke sisinya sementara Judy merebut buku catatan yang dipegang Billy dengan tenaga yang tidak perlu, sehingga untuk sesaat cowok itu sempat terhuyung.’

KembaIi, ada 3 kalimat bertingkat di sana yang bisa dipecah menjadi beberapa kalimat pendek yang lebih “penuh”.

Saran perbaikan: Tomari segera menarik Genta ke sisinya, sementara Judy merebut buku catatan yang dipegang Billy dengan cepat dan tanpa aba-aba. Tindakan gadis itu jelas membuat Billy kaget, sehingga untuk sesaat, cowok itu sempat terhuyung.

Halaman 103.

“Dikarenakan Genta sudah berada di tahun terakhir di sekolah, keaktifannya sebagai anggota OSIS telah berkurang dibanding sebelumnya, terkecuali Rinto meminta bantuannya secara khusus, seperti hari ini, yaitu demi kepentingan acara pentas seni atau yang disingkat pensi.”

Saran perbaikan: “Genta yang telah memasuki tahun terakhir di sekolah, tentu saja harus mengurangi keaktifannya sebagai anggota OSIS. Ia akan turut membantu bila Rinto memintanya secara khusus seperti hari ini, demi lancarnya acara pentas seni atau pensi.”

Hal yang saya pahami, untuk paragraf awal dalam cerita,usahakan menggunakan kata kerja aktif pada kalimat pertamanya, bukan kata kerja pasif, meski secara teknikal tidak salah. Baru nanti kalimat ke dua dan seterusnya, gaya bercerita bisa disesuaikan.

• Pesan dan Value yang Menarik dari PerfectSiblings

Terlepas dari semua catatan untuk penulis yang telah saya bahas sebelumnya, novel PerfectSiblings termasuk salah satu buku yang bisa kamu koleksi di rumah. Ada banyak hal positif yang bisa diambil pembaca ketika dihadapkan dengan realitas tentang kesempurnaan dalam diri seseorang.

Selain itu, banyak pesan tersurat dan tersirat dalam novel satu ini. Saya kutipkan beberapa poin, ya.

Halaman 74.

“Nggak ada yang sempurna di dunia ini termasuk kepintaran karena sifatnya berkesinambungan. Artinya harus diasah sesuai perkembangan zaman.”

Halaman 94, terdapat kalimat bijak Rinto yang seolah-olah menyemangati anaknya, padahal sebenarnya hanya ocehan bercanda. Meski begitu, pesannya sampai dengan baik.

“Masa depanmu masih jauh, Nak. Bapak akan selalu mendukungmu. Yang penting jangan terlalu paksakan diri, ya. Karena yang namanya kemampuan itu ada batasnya. Kamu tidak bisa memaksakan sesuatu yang tidak bisa kamu capai. Ingat itu, Nak.”

Halaman 105.

‘Keberanian akan tumbuh seiring bertambahnya rasa percaya diri.’

Halaman 134.Tomari membalikkan kata-kata Judy yang diucapkannya sendiri.

“Tiap orang pasti punya rahasia yang nggak berani diceritakan ke orang lain. Asalkan tidak merugikan dan mengganggu orang lain, menurut gue semua orang berhakpunya rahasia.”

Untuk pesan tersiratnya, saya bisa menangkap seperti ini dalam sepanjang cerita.

1.    Berusahalah jujur pada perasaanmu sendiri. Senang, sedih, dan rentetanemosi yang terjadi pada manusia itu harus diekspresikan. Jangan dipendam, nanti malah jadi penyakit.Hehehe.

2.    Kesempurnaan itu milik semua orang. Cara melihatnya yakni dengan penerimaan diri, kepercayaan diri, dan keberanian.

3.    Kadang, perasaan khawatir dan gelisah bisa mendominasi seseorang dalam titik tertentu. Namun, sejatinya perasaan seperti itu akan lebih mudah dikendalikan dengan mengubah sudut pandang dan menempatkan mindset positif yang dilatih terus-menerus.

Penilaian Subjektif untuk Novel PerfectSiblings

Melihat dalam keseluruhan pembangunan plot, saya merasa bahwa penulis sudah cukup baik dalam showing dan telling dalam bercerita. Karena keseimbangan teknik itu, penulis mampu menggiring pembaca untuk bisa membayangkan visual nyata adegan per adegan yang dijelaskan. Hanya saja, terkadang proses telling yang disampaikan terlalu detail, sehingga terkesan terlalu dipaksakan.

Buat saya pribadi, saya menikmati cara penulis bercerita, karena pilihan diksi yang digunakan pun variatif, sehingga tidak monoton saat dibaca.Bahkan ada twist yang terjadi, tapi saya gagal mengenalinya pada awal cerita. Saya ini tipe pembaca yang biasanya akan mencari-cari peluang twist yang akan disajikan selama membaca. Namun, karena terlalu asik menikmati ceritanya, twist yang disajikan jadi terasa ‘boom’ padahal bukan sesuatu yang menghentak banget. Apa tuh? Baca sendiri, ya!

Celetukan dan permisalan yang ditulis dalam menghadapi semua situasi juga mengandung humor tipis-tipis, sehingga pembaca bisa tertawa karenanya. Saya merasakan itu dalam beberapa part cerita di dalamnya.

Saya suka pemilihan nama tokoh yang benar-benar dipikirkan penulis: Judy Meline, Jessy Mayline, Genta Harvey, TomariShinou, John Piter (guru), dan teman-teman pembuli Genta yang punya nama tak biasa, Billy Lauren Febrian, Jason Effendy, dan Alvino Surya Purnama. Nanti aku comot buat nama anakku selanjutnya, boleh, kali, ya? Hehehe.

Hal lain yang menarik, penulis menggunakan POV 3 terbatas, bukan POV 3 serba tahu. Penulis menyampaikan narasi-narasi terkait kemungkinan perasaan tokoh yang tidak diketahui narator sebagai pencerita. Hal ini membuat para pembaca jadi menebak-nebak reaksi tokoh selanjutnya.

Meski terkadang, pemilihan POV ini berdampak pada teknik penceritaannya, saya merasa bahwa penulis berusaha dengan baik untuk membuat pembaca bisa merasakan emosi-emosi tokoh di dalamnya. Penulis bisa menyajikan karakter yang berbeda pada tiap tokohnya, sehingga pembaca pun dapat mengidentifikasi tokoh berdasarkan caranya berpendapat, caranya menghadapi masalah, serta cara mereka bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah.

Ending yang disajikan masuk kategori close ending, sehingga pembaca pun merasa “selesai” ketika menutup novel ini pada halaman terakhir. Novel ini cocok buat healing akhir pekan sambil menikmati camilan dan teh hangat, sebelum memulai aktivitas kembali pada awal minggu.

Saya beri nilai 7,7/10 untuk novel Perfect Siblings.

Closing Statement from me

Menulis adalah cara bicara yang tidak langsung, tetapi punya dampak baik untuk para pembacanya. Hal ini juga jadi cara bagi penulis untuk mengeluarkan pendapat, keresahan, dan hal-hal yang menggaung dalam pikiran. Ada satu quote yang saya rasa bisa melengkapi novel ini karena cukup relate.

“Cinta tumbuh bukan karena menemukan orang yang sempurna, melainkan kemampuan menerima kelemahan-kelemahan orang itu secara sempurna.” (Kahlil Gibran)

The last but not least, meski bukan pemenang di Parade, tapi naskah Perfect Siblings menjadi pemenang di hati para fansnya. Terbukti dari sematan logo Best Seller di bukunya. Ini jadi sebuah poin plus tersendiri untuk Yunita Chearrish sebagai penulisnya yang tak lelah branding, sehingga buku ini punya penjualan di atas rata-rata.

Good job for your goodbook, Kak Yunita!!

#9ThLovRinzGrowthtobeGreat #menulisselagimuda #ChallengeFotoBukuLovRinz

 

 





Jumat, 08 September 2023

Realitas Pendidikan dari Sebuah Kisah di Madrasah Kamilah

Halo, teman-teman, udah lama banget aku gak nge-review buku, ya. Kali ini aku akan bikin ulasan bukunya Lif Kalami aka Eneng Susanti. Check this out ya!

• Identitas Buku

Judul : Benderang Kelam

Penulis: Lif Kalami

Tahun Terbit: 2022

Penerbit: LovRinz Publishing

ISBN : 978-623-5945-85-9

• Sinopsis Ringkas

Buku ini menceritakan tentang perjuangan seorang guru muda di tanah asing yang belum pernah dijamahnya. Drea Diantha harus memulai sebuah misi untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi di Madrasah Kamilah, tempat ia mengajar. Teka-teki yang berserakan harus bisa ia selesaikan serupa bermain puzzle agar ada kejelasan.

Beragam konflik membuat Drea dilema dan ingin menyerah, tapi Kartu As dari Kepala Madrasah Kamilah membuat gadis itu tetap bertahan dan berusaha mencari tahu kebenaran yang belum terungkap. Rupanya, ada benang merah yang terhubung antara keluarganya dan Madrasah Kamilah. Apa ya? Baca sendiri aja, deh!

• Opening Cerita

Pembuka kalimatnya menarik, dimulai dengan paragraf yang cukup nyaman dibaca. 

“Langit kelabu terlihat sendu di balik jendela kamar seorang guru. Rintik hujan membuat kacanya buram. Pandangan dia mengembun dibalut bimbang.”

Das-des! Kalau nggak baca blurb, pembaca akan langsung tahu bahwa ini adalah kisah seorang guru, ditambah jika mengamati cover-nya yang merupakan gambar seorang perempuan berhijab dengan seragam motif khas seorang pengajar. 

Satu paragraf pembukanya sudah cukup untuk membuat saya membaca paragraf selanjutnya.

Cerita dimulai dari teka-teki penemuan jasad seorang guru senior di lokasi tempat sang tokoh utama mengabdi. Drea yang baru saja tiba di Madrasah Kamilah harus menghadapi permasalahan sejak kedatangan di kobong, Persada Hilir. Pada awal bab, penceritaan penokohannya sudah baik. Hanya saja, saya merasa bahwa segala informasi pembuka itu terlalu banyak di bab satu, sehingga terkesan dump info. 

Meski begitu, bagi saya itu bukan sebuah masalah yang berarti karena itu juga akan membantu pembaca untuk lebih mengenal karakter tokoh-tokoh di dalamnya dengan lebih baik, serta menelaah kisah dengan lebih mudah.

• Ide dan Tema Cerita

Menjadi seorang pengajar dengan fasilitas seadanya dan punya gaji yang pas-pasan adalah salah satu hal yang disorot dalam buku ini. Dapat saya katakana, Benderang Kelam merupakan naskah yang menyajikan sebuah cerita berbalut fakta tentang kehidupan guru yang tidak selalu menyenangkan, apalagi jika berkaitan dengan perkara finansial.

Agaknya, jika mau dibandingkan, pilihan untuk menjadi seorang guru jelas akan terasa gap-nya jika dibandingkan dengan pengusaha dari segi pendapatan harian atau bulanan. Meski demikian, penulis bisa menyampaikan ide ini dengan baik tanpa tendensi menyinggung pihak-pihak yang terkait.

• Catatan untuk Penulis

Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan naskah Benderang Kelam. Saya menemukan beberapa hal yang mungkin bisa dijadikan catatan untuk penulis selanjutnya.

Pada halaman 4

“Namun, Drea yakin, semua orang yang mengenal Pak Hilman semasa hidupnya, pasti menyimpan simpati kepada wanita malang yang berubah pikiran setelah gagal menikahi kekasihnya itu.”

Menurut saya, penggunaan kata “berubah pikiran” pada paragraf tersebut kurang tepat, karena penggambaran kata itu bisa bermakna plin-plan dan tidak teguh berpendapat. Padahal, maksud dari uraian itu adalah “perempuan yang kehilangan akal” atau “kurang waras” jika ditilik dari beberapa lanjaran-lanjaran sebelumnya.

Masih ada penggunaan kata yang kurang tepat seperti penggunaan kata “mendengus” pada tokoh-tokohnya. Sependek pemahaman saya, kata “mendengus” ditujukan untuk binatang, sedangkan untuk manusia, penggunaan yang tepat adalah “mendengkus”. CMIIW.

Masih juga terdapat beberapa penggunaan kata “namun” pada tengah kalimat. Padahal, kata ganti “tapi, tetapi” bisa digunakan. Kata “namun” ditujukan untuk pembuka kalimat, yang fungsinya bertentangan dengan kalimat sebelumnya.

Beberapa kesalahan typo juga ada, seperti kata “di dekati” di halaman 70 dan “di infus” pada halaman 155. Kata tersebut seharusnya disambung, bukan dipisah, karena merupakan kata kerja pasif.

Saya juga menemukan penulisan dialog tag yang masih menggunakan kapital. Penulisan dialog tag, seharusnya menggunakan huruf kecil saja. Kesalahan ini ada pada halaman 70.

Ada beberapa kata tak baku seperti “ijin”>> izin, dan “respon”>>respons. Meski begitu, kesalahan tipis-tipis ini masih bisa diperbaiki untuk naskah selanjutnya.

• Penilaian Pribadi untuk Benderang Kelam

Untuk sebuah karya perdana, penulisan Lif Kalami dalam naskah Benderang Kelam sudah rapi. Hanya kurang sempurna pada beberapa bagian yang telah saya ulas sebelumnya. Naskah ini juga mencakup semua unsur penceritaan dalam novel, sebagaimana yang saya pelajari dan saya terapkan pada novel-novel saya. Konfliknya dapat, klimaksnya ada, plot twist-nya oke. 

Hanya saja agak terasa berbelit-belit pada 10 bab pertama, tapi mulai terasa seru pada pertengahan cerita. Klaim sebagai naskah thriller romance dalam naskah ini, saya merasa kurang mewakili ceritanya. 

Ketegangan yang disajikan belum benar-benar dapat dinikmati sebagai novel thriller, apalagi romansa. Porsi romance dalam cerita ini hampir tak terlihat kecuali di akhir naskahnya. Meski begitu, cara penulis dalam membuat konflik, pertautan satu tokoh dan tokoh lainnya, karakter yang mewakili masing-masing tokoh, hingga konklusinya sudah cukup baik. 

Unsur teka-teki dalam cerita ini memang ada, tetapi bukan bagian yang mendominasi cerita secara menyeluruh. Sebenarnya, penulis sudah cukup baik dalam melakukan pacing cerita, sehingga pembaca tak melulu dibuat tegang atau geram dengan situasi-situasi yang tak menyamankan dalam cerita. Saya bahkan beberapa kali tertawa, amarga Lif Kalami bisa menyelipkan humor-humor ringan di dalamnya.

Penulis cukup mahir memainkan kata, sehingga pembaca juga dimanjakan dengan deretan kosakata yang “penuh” tapi nggak lebai. Pas. Gayanya ini hampir sama dengan tulisan-tulisan saya, setipe. Hehehe.

Eksekusi ending juga terlihat manis. Semua permasalahan dan dilema yang dihadirkan sepanjang cerita pun mendapatkan muaranya masing-masing. Ending yang selesai adalah ujung yang sangat logis untuk menutup cerita ini.

Saya memberi nilai 7,6 dari 10 untuk Benderang Kelam.

• Kutipan Menarik dari Benderang Kelam

Menulis adalah salah satu upaya untuk menyampaikan kritik secara tersirat dan tersurat. Hal itu juga saya dapati dalam buku satu ini. Ada beberapa kutipan percakapan yang menyentil, bahkan membuat saya mengangguk setuju, juga tertawa getir karenanya. Apa aja, sih?

Pada halaman 14-15:

Tidak mudah menembus institusi bernama sekolah. Beberapa kali Drea melamar ke sana kemari, hasilnya nihil. Nilai sempurna di ijazah seakan tidak berharga. Tenaga dalam Drea berupa niat dan semangat, rupanya dikalahkan oleh tenaga orang dalam.

Pada halaman 38:

“Bersikap baik, dibilang sok suci. Bersikap benar, dibilang sok pahlawan. Bersikap profesional, dibilang cari muka. Harusnya bagaimana?” Tidak disangka, pekerjaan yang dicita-citakannya ini menjerat Drea dalam pusara dilema.

Pada halaman 91:

“Pahlawan adalah orang yang beraksi membela kebenaran, bukan memakai pembenaran untuk melakukan kejahatan.”

Pada halaman 104, terdapat kontemplasi dari pandangan Drea sebagai seorang guru.

Mungkin mereka memang pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, sepertinya mereka lebih butuh kesejahteraan dibandingkan sebuah gelar kehormatan yang tak lebih dari sebuah slogan. Mungkin mereka memang ikhlas beramal. Namun, ikhlas itu bukan berarti mereka pantas untuk tidak digaji berbulan-bulan.

Pada halaman 132:

“Cita-cita mulia pendidikan, mencetak generasi yang berakhlak mulia, dapatkah dimulai dari sebuah lembaga yang penuh dengan kecurangan? Mengapa di dunia yang seharusnya menyajikan Cahaya terang justru mendekam kelam yang benderang?”

Dari kutipan ini, saya jadi paham mengapa judul yang dipilih penulis adalah Benderang Kelam. Ada sebuah paradoks yang hendak di suarakan dari sana.

• Penutup Ulasan

Untuk menutup ulasan ini, saya jadi teringat lagu Hymne Guru yang kerap dinyanyikan di Hari Guru tiba.

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru

Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku

Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku

S'bagai prasasti t'rima kasihku 'tuk pengabdianmu

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan

Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan

Engkau patriot pahlawan bangsa

Pembangun insan cendekia

Naskah Benderang Kelam agaknya dapat dikatakan sebagai “curhat terselubung” yang berhasil dilakukan Lif Kalami. Maka, dari cerita ini, saya jadi lebih yakin bahwa menulis adalah sebuah obat bagi siapa saja. Tujuan penulis untuk melakukan hal-hal baik agar segala masalah di dunia pendidikan dapat lebih benderang seperti lagu Hymne Guru di atas, bagi saya sudah baik.

Gimana memulai untuk menulis? Tulislah sesuatu yang dekat denganmu. Tulislah hal-hal yang meresahkan hatimu. Tulislah semua elemen yang bisa membuat pembaca punya perspektif baru setelah membaca karyamu. Itulah yang penulis lakukan dalam naskah satu ini.

Good job, Lif Kalami! You did it!

#9ThLovRinzGrowthtobeGreat #menulisselagimuda #ChallengeFotoBukuLovRinz