Bismillah

Bismillah

Sabtu, 26 November 2011

Puzzlemu, dukamu

Berbekal ilmumu
Berkaca pada sikapmu
Mengalun setiap tuturmu
Terungkap senyummu
Terpancar kelembutan auramu

Tak kan ada yang tahu
Langkah apa yang sebelumnya kau tempuh
Tak kan ada yang peduli
Meski raga dan batinmu mengeluh
Tak kan ada yang bisa
Menyamarkan kesedihanmu yang mengaduh

Hatimu yang menawan
Tergores luka sayatan
Auramu yang gemintang
Tertutup lukisan perih yang meradang

Bukan pada air kau mengadu
Bukan pada api kau menunggu
Bukan pada angin yang beradu
Bukan pula pada waktu yang memburu

Tetaplah sekuat karang
Tetaplah setangguh mutiara
Agar liku hidupmu penuh warna
Dan tak akan ada yang kembali kecewa



PERBANDINGAN TEMA DALAM NOVEL ANNE OF GREEN GABLES DAN MA YAN


Kedua novel ini memiliki kesamaan dalam tema meskipun mengemas cerita dengan latar dan alur yang berbeda. Kasih sayang dan perjuangan adalah dua topik besar yang diangkat keduanya. Kisah Anne of Green Gables karya Lucy M. Montgomery menjabarkan kasih sayang terhadap berbagai jenis tumbuhan yang ada disekelilingnya, sedangkan Ma Yan karya Sanie B. Kuncoro menengahkan kasih sayang ibu-anak yang kuat.
Perjuangan Anne mendapatkan kesempatan untuk keluar dari panti asuhan dan belajar dapat dikatakan sebanding dengan perjuangan Ma Yan yang juga mempertahankan diri agar dapat bersekolah meski kemiskinan menjadi sandungan terbesarnya.

Berikut beberapa data titik mirip antara keduanya:
No
Anne of Green Gables
Ma Yan

1.
Mata Anne yang mencintai keindahan menelusuri hal-hal itu satu persatu, merekam semuanya dengan teliti...(halaman 65)

“Jika aku tidak bisa tinggal di sini, sia-sia bagiku untuk mencintai Green Gables. Dan jika aku keluar berkenalan dengan semua pepohonan, bunga-bunga, kebun, dan sungai kecil, aku tak akan mampu menahan diri mencintai tempat ini...” (halaman 70)


“Oh... aku menyukai berhubungan dengan segala  sesuatu, bahkan jika itu hanya tanaman geranium. Hal itu membuat mereka lebih mirip manusia. Bagaimana anda bisa tahu bahwa perasaaan geranium terluka karena dia hanya disebut geranium dan bukan dengan sebuah nama? Anda tidak akan suka dipanggil dengan sebutan “perempuan” sepanjang waktu. Ya, aku akan memanggilnya Bonny. ..” (halaman 71)
Apakah kemiskinan itu adalah warisan atau keturunan? Entahlah. Tapi aku yakinkan pada diriku sendiri, bahwa tidak akan kuwariskan kemiskinan itu kepada keturunanku. Tidak akan kutempatkan anak-anakku pada jalur kemiskinan yang telah kulalui. Cukup. Cukup aku saja, ibu dan ayahnya yang menempuh jalur ini. (halaman 34)

Aku tidak ingin hinaan semacam itu terjadi dan ditanggung ayahku. Ayahku sudah melakukan yang terbaik bagi kami keluarganya. Ayah sudah memeras keringatnya demi membuat kami tetap bertahan menjalani kehidupan. Aku tidak rela hinaan-hinaan itu menimpa ayahku. Apapun bentuknya atau dilakukan oleh siapapun. Maka akan kulakukan berbagai hal untuk menutupinya. Sekalipun itu berarti aku harus kehilangan pulpen kesayanganku. (halaman 41)

Tidak akan kuceritakan tentang pena impian itu dan beberapa hal yang kualami demi mndapatkannya. Paling tidak untuk saat ini. Cerita itu pasti akan membuat ibu merasa sedih dan tak berdaya. Aku tidak ingin ibu mengalami kesedihan semacam itu. Kesedihan yang dialaminya selama ini lebih dari cukup. Tak perlu kutambah kesedihan lainnya. (halaman 75)

2.
“Oh, pengantin, tentu saja-seorang mempelai wanita bergaun putih dengan cadar tipis yang indah. Aku belum pernah melihat pengantin, tapi aku bisa membayangkannya. Aku sendiri tidak pernah berpikir menjadi pengantin. Aku sangat biasa-biasa sehingga tak akan ada orang yang mau menikahiku–kecuali jika ada seorang misionaris asing....” (halaman 35)
Ada sebuah tradisi pada masyakat kami bahwa ketika seseorang perempuan menolak sebuah perjodohan yang diberikan, maka kemungkinan besar ia akan kesulitan pada proses perjodohan selanjutnya. Oleh karena itu, ia harus mencari sendiri jodohnya, menemukan laki-kai yang bersedia menikah dengannya. Bila hal semacam itu terjadi, itu berarti suatu aib besar menimpa seluruh keluarga. (halaman 20)

3.
“...Oh, begitu menakjubkan karena aku akan tinggal bersama Anda. Aku belum pernah menjadi milik siapa-siapa––tidak pernah betul-betul begitu. Tapi panti asuhan adalah hal yang terburuk. Aku hanya tinggal di sana selama empat bulan, tapi itu sudah cukup. Aku menyimpulkan bahwa Anda tidak pernah menjadi anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan, jadi Anda tidak mengerti seperti apa rasanya. Lebih mengerikan dari apa yang pernah Anda bayangkan....” (halaman 34)

“Mr. Dan Mrs. Thomas pindah dari Bolingbroke ke Marysville dan aku tinggal bersama mereka hingga usiaku delapan tahun. Aku membantu menjaga anak-anak keluarga Thomas. Kemudian, Mr. Thomas tewas karena jatuh dari kereta api, dan ibu Mr.Thomas menawarkan diri untuk mengajak Mrs. Thomas dan anak-anaknya tinggal bersamanya. Tapi, dia tidak menginginkan aku. Kemudian Mrs. Hammond datang dan berkata akan mengambilku.(halaman 79)
Aku tinggal dengannya selama dua tahun, kemudian Mrs. Hammond meninggal dan aku harus masuk ke panti asuhan di Hapetown. Sebenarnya panti auhan itu juga tidak menginginkanku; mereka bilang di sana sudah terlalu sesak. Tapi, mereka harus menerimaku dan aku berada si sana selama empat bulan sampai Mrs. Spencer datang..” (halaman 80)
Suatu kali aku pernah menangis dalam kesedihan yang dalam karena pulpenku nyaris hilang. Pulpen itu kuperoleh dengan tidak mudah. Aku berjuang lebih dari dua pekan untuk bisa memiliki pulpen itu. Perjuangan berat yang menguras ketabahan, keteguhan, dan menanggung kelaparan panjang. Maka kupertahankan pulpenku dengan cara apapun. (halaman 41)

Perjuangan untuk mendapatkannya membuatku mengerti makna hidup yang sukar ataupun hidup yang bahagia. Rintangan-rintangan yang kuhadapi demi mendapatkan pena itu merupakan cermin dari masalah-masalah hidup yang kualami. Bahwa banyak hal yang tidak mudah dalam hidup. Bahwa banyak hal yang kita ingin dan kita perlukan akan senantias tersedia. Bahwa apa yang kita peroleh seringkali menyimpan perjuangan panjang, rumit, dan melelahkan. Bahwa segala sesuatu yang ada dalam hidup kita, tidak senantiasa serupa seperti yang kita inginkan.“ (halaman 76)

Aku menunduk sedih sembari meneruskan menyiangi gandum dengan sabit. Bukan hal ringan, apalagi untuk seorang perempuan yang sakit. Tapi ibu dengan sakit parah yang dideritanya, bertahan untuk melakukan tugas ini. Mengapa? Demi kami anak-anaknya, tentu saja. Agar kami tidak menjalani hidup seperti yang ia hadapi. Seperti ibu yang menahan segala rasa sakit demi anak-anaknya. Maka aku juga akan bertahan menggapai cita-citaku. Entah seberapa besar kerja keras dan upaya yang harus kulakukan untuk mencapainya. Aku akan tetap bertahan. Demi ibu. (halaman 99)


4.
“Aku tidak akan pernah melakukan hal itu,” kata Anne dengan keras kepala dan muram. “Kau boleh menghukumku dengan cara bagaimanapun yang kau sukai, Marilla,” (halaman 126)

“soalnya, aku tidak bisa mengatakan pada Mrs. Lynde bahwa aku menyesal karena mengatakan hal itu padanya. Aku menyesal karena membuatmu malu, tapi aku senang karena mengatakan hal itu padanya. “ (halaman 127)
Aku ingin menjadi anak yang patuh. Namun tidak terhindarkan ada perlawanan di dalam diriku yang tak hendak kuredam. Sebab aku tahu bahwa kepatuhan itu akan menutup peluang bagiku untuk meraih cahaya dan kesempatan yang akan menjadikanku sebagai orang yang berguna bagi keluargaku.
Aku bukan seorang anak perempuan yang hanya patuh tanpa syarat. Aku anak perempuan yang memiliki daya untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihanku. (halaman 138)

5.
“Yah..sebuah harapan lain menguap. ‘Hidupku adalah sebuah lahan pemakaman sempurna untuk harapan-harapan yang terkubur.’ Kalimat itu pernah kubaca dalam sebuah buku, dan aku mengatakannya untuk membuat diriku namman ketika aku merasa kecewa terhadap sesuatu.” (halaman 75)
Ini semua membuatku senantiasa berpikir positif. Bahwa aku akan berhasil. Suatu ketika nnanti aku bersugguh-sungguh mendapatkan pekerjaan idamanku. Suatu pekerjaan yang baik yang mampu memberikan kehidupan yang lebih baik kepada ayah, ibu kakek, nenek, dan adik-adikku. Itulah harapanku. Itulah cita-cita hidupku. (halaman 77)

6.
“Oh, Marilla, itu adalah impian dalam hidupku–– selama enam bulan terakhir, sejak Ruby dan Jane mulai memberikan tentang belajar untuk ujian masuk Akademi Queen.” (halaman 405)

“ Aku tak tahu. Kadang-kadang, kupikir aku akan mampu melaluinya, keudian aku sangat khawatir. Kami telah belajar keras an Miss Stacy telah mendidik  kami dengan baik, tapi mungkin saja kami tidak lulus. Kami memiliki hambatan masing-masing. Hambatanku adalah geometri, tentu saja, dan Jane bahasa Latin. Ruby dan Charlie kesulitan dalam aljabar, dan Josie Pye kesulitan dalam aritmatika. Bulan Juni nanti Miss Stacy akan memberikan ujian masuk yang sangat berat, seperti yang akan kami hadapi di ujian masuk.” (halaman 426)

“Oh..aku tidak yakin aku akan mampu menjalaninya. Jika gagal, pasti aku akan merasa sangat sedih, terutama  jika Gil–– jika yang lain lulus.” (Halaman 427)

Aku bersekolah di Yuwang, sebuah kota kecil yang merupakan pusat perdagangan utama bagi daerah sekitarnya. Zhangjiashu, desaku adalah salah satu masyarakat Yuwang. Distrik ini merupakan wialayah paling miskin di China.
Dari rumah meneuju sekolahku berjarak dua puluh kilometer. Jalur perjalanan itu berupa ladang-ladang pedalaman yang berbukit, trayek berbahaya yang berdekatan dengan jurang-jurang. Oleh karena beresikonya perjalanan itu, beberapa guru menyarankan para murid untuk menumpang traktor yang melewati jalur ini. (halaman 39)

Gagal melewati ujian seleksi masuk sekolah keputrian, maka kuteruskan jenjang pendidikanku di sekolah menengah di Yuwang. Adalah penghasilan dari kerja keras tangan ibu memanen fa cai tidak besar, bahkan sangat minim sehingga ayah dan ibu harus melunasi uang sekolah dalam beberapa tahapan. Untunglah para guru memahami kesulitan kami. (halaman 163)
7.
“Anne, kau lulus,” dia menjerit, “lulus dan berada di peringkat pertama––kau dan Gilbert juga––kalian seri, tapi namamu tercantum duluan. Oh, aku sangat bangga!”
“Kau berhasil dengan gemilang, Anne,” Diana terengah-engah, akhirnya mampu untuk duduk dan bicara. Sementara Anne, dengan mata berbinar dan begitu tenggelam dalam kebahagiaan. (halaman 438)

“Aku meledak saking bahagianya di dalam hati, aku ingin mengatakan ratusan kalimat dan aku tak bisa menemukan kata-kata untuk mengungkapkannya.”
“Oh, Matthew, aku lulus dan jadi nomor satu–– atau salah seorang yang nomor satu! Aku tidak sombong, tapi aku sangat bersyukur,” (halaman 439)
Mrs. Rachel yang baik hati itu berkata dengan sungguh-sungguh pada Marilla: “Kukira dia melakukannya dengan sangat baik, dan aku tak akan menjadi orang terakhir yang mengatakan hal itu.  Kau telah menjadi contoh bagi teman-temanmu, Anne. Begitulah, kami semua bangga padamu.” (halaman 440)

“Ma Yan mendapat nilai 114 untuk ujian matematika,” guru mulai membaca hasil akhir ujianku, ”Nilai 90 untuk bahasa China dan 95 untuk bahasa Inggris. Total nilai 299. Ia adalah juara untuk semua kelas enam...”
“Selamat Ma Yan, kamu layak jadi teladan semua siswa.” Guru menghampiriku dengan kebanggaan yang tak tertutupi. Aku teramat bahagia mendengarnya, juga terharu. Paduan perasaan yang entah bagaimana menjelaskannya. Tidak sanggup kutemukan kata-kata yang tepat untuk melukiskan perasaanku. Tidak pernah terjadi kepadaku momen membahagiakan seperti saat ini.

Aku tahu bahwa ibu tidak akan merasa sia-sia dengan semua kerja kerasnya. Paling tidak, kali ini telah kubawa satu kemenangan besar ke rumah. Semoga tidak berhenti kuperoleh kemenangan-kemenangan selanjutnya.


Interpretasi

            Berdasarkan data titik mirip kedua karya tersebut, konsep utama tentang rasa kasih sayang sangat terlihat. Sikap yang ditunjukkan Anne terhadap alam dan apresiasinya terhadap lingkungan sekitar menjadi salah satu bandingan yang sepadan dengan sikap dan perilaku Ma Yan terhadap orang tuanya, begitu pula sebaliknya.
            Semangat Anne yang menggebu-gebu mendapati dirinya akan menjadi “milik” seseorang dan berkesempatan untuk bersekolah, ditampakkan pula dari semangat perjuangan Ma Yan untuk bersekolah meski jarak dan medan yang ditempuh tidaklah mudah. Perasaan seorang sulung yang ikut merasakan kepahitan hidup menjadikannya sosok yang kuat, tegar dan tidak mudah menyerah. Kedua tokoh, Anne dan Ma Yan pernah merasa gagal, tetapi mereka tetap berjuang hingga akhirnya prestasi gemilang menghampiri mereka.
            Terdapat pula kemiripan sifat keduanya, yakni sifat keras kepala. Namun, representasi sifat tersebut berbeda. Anne keras kepala bila ia merasa benar terhadap apa yang dilakukannya walaupun di mata orang lain terlihat keliru. Sedangkan Ma Yan keras kepala untuk tetap mempertahankan sekolahnya walaupun kondisi ekonomi  keluarganya sangat tidak mencukupi.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, baik alur dan cerita, kedua novel ini sangat berbeda. Anne digambarkan sebagai sosok yang periang dan selalu bertindak sesuka hatinya. Ia senang bicara dan berimajinasi. Sedangkan Ma Yan digambarkan sebagai anak sulung keluarga miskin yang harus turut merasakan kepedihan saat kelaparan melanda dan harus selalu tegar dan tabah menjalani kehidupannya.
Keterkaitan kedua karya tersebut semata-mata karena kesamaan tema tersebut bukan disebabkan adanya pihak yang saling mempengaruhi. Hal tersebut saya simpulkan karena penerbitan kedua buku tersebut berada pada tahun yang sama, 2008. Sehingga kecil kemungkinan bila ada keterkaitan oleh faktor saling mempengaruhi.


           
           

Yeahhh!

Halo semua...
ini blog ke sekian yang aku buat...
mg bisa bermanfaat ya..
Jangan lupa kalo mau copy paste bole saja..
tapi sertakan sumbernya ya...
thanks all....
jangan kapok buka blogku lg ya...
see ya...
^_^