Bismillah

Bismillah

Minggu, 04 Mei 2014

“Tea for Two”, ketika pernikahan tak seindah yang dibayangkan....


Perasaan saya tergelitik dan tergedor-gedor untuk membuat tulisan setelah membaca novel ini. Pernyataan di sampul belakang ditulis “Inilah kisah yang menelanjangi sisi buruk pernikahan. Para lajang, gemetarlah, karena lelaki yang kaupikir Mr. Right bisa berubah menjadi Mr. Totally Wrong.” Dan saya dibuat penasaran karenanya.
            Pembukaan cerita cukup membuat penasaran, dengan gaya bercerita dengan sedikit humoris, Clara membuat novel ini mengalir dengan baik. Mulai menuju klimaks saat adanya penamparan yang dilakukan Alan pada istrinya, Sassy, di hari ke dua honeymoon mereka di Bali. Menurut Sassy, hal itu berada di luar dugaan. Selama satu tahun perjalanan cinta mereka hingga ke pernikahan, Alan bukanlah sosok yang menampakkan tabiat yang tak baik.
            Saya ikut gemas, ikut merasa sakit, seolah-olah sayalah yang berada pada posisi Sassy. Apalagi mendapati sikap Sassy yang gampang meleleh karena mendengar kata-kata cinta yang berlebihan dari Alan saat mengekspresikannya. Saya sebal, ternyata ada ya lelaki seperti itu. Terlepas kisah ini adalah fiksi atau terinspirasi dari kisah nyata, saya menilai Clara cukup cerdik dalam mendeskripsikan cerita yang mungkin dapat dialami perempuan manapun di belahan dunia ini.
            Saya mencoba bersabar dengan kaliat-kalimat yang dituangkan di sana. Tapi saya kembali gemas saat Alan mencoba melarang Sassy bergaul dengan sahabat-sahabat terbaiknya. Bahkan ia kembali memukul Sassy saat perempuan itu sedang mengandung benih cinta mereka. Saya begitu sakit hati dengan tuduhan Alan pada Sassy tentang perselingkuhan yang dilakukan istrinya itu. Padahal sesungguhnya Alan yang berselingkuh. Astaga.... “sakit” kayaknya cowok ini. Begitu melakukan kekerasan dengan tamparan atau bogem mentahnya, Alan seolah-olah menjadi pribadi lain saat mengucapkan kata maaf. Begitu lembut, begitu manis dan romantis, dan sebagai perempuan, Sassy terpukau dengan perlakuan yang demikian.
            Ah, saya tak tahu lagi harus bersikap bagaimana bila menghadapi perlakuan serupa. Pernyataan di belakang buku sebelumnya sempat meneror pikiran saya. Ya. Saya memang gemetar, akhirnya. Baru kali ini mendapati novel yang sampai benar-benar memuat saya sangat gemas, bete, sebel, kasihan, bahkan sempat merasa “takut” untuk menikah. Hahaha...
            Dan setelah rampung di baca, mulut saya bergumam, WOW!
            Memang begitulah ekspresi saya membaca novel ini, begitu lugas, santai, humoris, tapi pesan moralnya sangat bisa saya rasakan. Saya bahkan sempat mendesis, menangis, dan tiba-tiba meletakkan novel ini, begitu saya mendapatkan kejadian dalam cerita yang sedikit “meneror”.
            Mungkin komentar dan tulisan ini terkesan berlebihan, tapi memang itulah yang saya rasakan. Tea for Two merupakan salah satu novel yang baik yang pernah saya baca. Cukup memuaskan dahaga ketika saya menginginkan cerita yang penuh “teror”. Kutipan yang saya suka ada di halaman 278.

            “Cinta yang sehat adalah cinta yang mengeluarkan arus positif untuk dapat saling menghidupkan. Cinta yang penuh dengan penderitaan bukanlah tanah yang gembur untuk dapat menumbuhkan benih apapun. Benih akan mati tercekik di tanah liat yang kekurangan air.”

            Great Job, Clara! I like it....so much! J