Bismillah

Bismillah

Selasa, 29 April 2025

Review 86 Karya Okky Madasari: Kritik yang Berani tentang Suap di Berbagai Lini Kehidupan

Halo gais. Setelah setahun gak apdet, akhirnya hari ini bisa share ulasan lagi di sini. Oke, buku yang mau dikulik kali ini adalah salah satu tulisan Okky Madasari berjudul 86.

°°Identitas Buku

Judul : 86

Penulis  : Okky Madasari

Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit  : 2011

ISBN : 978-979-22-6769-3

Tebal : 260 halaman



Source: Google image

°°Sinopsis Cerita

Naskah ini bercerita tentang Arimbi, salah satu pegawai di kantor pengadilan di Jakarta, yang akhirnya tersangkut masalah karena pilihan-pilihan yang ia buat sendiri. Berikut aku kutipkan blurb di cover belakang, ya.

“Apa yang bisa dibanggakan dari pegawai rendahan di pengadilan? Gaji bulanan, baju seragam, atau uang pensiunan?

Arimbi, juru ketik di pengadilan negeri, menjadi sumber kebanggan kedua orang tuanya dan orang-orang di desanya. Generasi dari keluarga petani yang bisa menjadi pegawai negeri. Bekerja memakai seragam setiap hari, setiap bulan mendapat gaji, dan mendapat uang pensiunan saat tua nanti.

Arimbi juga menjadi tumpuan harapan, tempat banyak orang menitipkan pesan dan keinginan.  Bagi mereka, tak ada yang tak bisa dilakukan oleh pegawai pengadilan.

Dari pegawai lugu yang tak banyak tahu, Arimbi ikut menjadi bagian dari orang-orang yang tak punya malu. Tak ada yang tak benar kalau sudah dilakukan oleh banyak orang. Tak ada lagi yang perlu ditakutkan kalau semua orang sudah menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.

Pokoknya, 86!”


°°Keunggulan Naskah

Untuk teknikal, Okky Madasari memang sudah bagus, ya gais, ya. Tentu saja hal ini adalah sesuatu yang memang harus dimiliki penulis, sehingga kenyamanan dalam membaca adalah hal yang paling mendasar.  Tak ada salah ejaan yang berarti, semuanya aman terkendali.

Selain itu, saya suka caranya membuat tek-tok percakapan yang bisa menggiring konflik yang lebih besar. Alur yang dibuat sangat natural, tidak ada scene-scene yang dipaksakan. Ada sebab akibat yang terjalin rapi dalam setiap adegan yang disajikan.

Value yang dikedepankan adalah kritik sosial terkait dengan tindak suap di pengadilan. Tak bisa dipungkiri bahwa suap menyuap ini memang menjadi keresahan tersendiri, apalagi untuk pekerjaan. Saat belum memasuki konflik utama, pembaca diberikan gambaran pertama terkait kepala desa, yang mau “nitip” anaknya agar bisa ikut bekerja di kantor pengadilan. Hal ini menjadi bagian permulaan yang akan membawa masalah suap ini pada konflik yang lebih besar.

Ada penjelasan terkait judul 86 ini pada halaman 94: Ungkapan 86 awalnya digunakan di kepolisian yang artinya sudah dibereskan, tahu sama tahu. Tapi kemudian digunakan sebagai tanda penyelesaian berbagai hal dengan menggunakan uang.

Maka, saya menyimpulkan bahwa pilihan penulis menggunakan judul ini yakni berorientasi pada “peran uang” yang menjadi pembahasan paling utama dalam plot dan penggerak ceritanya. 


°°Pendapat Pribadi Terkait Naskah Novel 86

Saya pribadi menyukai konsep cerita dalam novel ini. Tarik ulur penceritaannya juga menyenangkan. Saya hanya agak menyayangkan pada bagian awal cerita yang terasa bertele-tele, tipe telling tapi rada terkesan menggurui untuk saya pribadi. Asli, baca 1 bab pertama rasanya capeeek banget. Narasi yang penuh, padat, dan terstruktur. Meski memang hal itu dibutuhkan sebagai world building pertama pada cerita, tetapi bagi saya, itu menjadi sedikit kelemahan yang membuat ritme cerita di awal terasa sangat lambat.

Meski demikian, saya sangat suka cara penulis melakukan deskripsi tokoh: mendetail dan bisa dibayangkan. Pada bagian ini, saya kutipkan salah satu cuplikannya di halaman 33.

“Di samping kiri mereka duduk seorang laki-laki setengah baya keturunan Cina. Matanya sipit. Ada banyak lipatan kulit di kening dan dagu. Kepala botaknya menyisakan sedikit rambut putih. Ia memakai kemeja putih dan dasi warna biru lengkap dengan setelan jas warna hitam.

Di sisi kiri ada lebih banyak orang. Empat orang di bangku barisan depan dan empat orang lagi di bagian belakang. Di ujung kiri duduk perempuan setengah baya. Melihat perempuan itu Arimbi teringat Bu Danti. Mukanya yang kinclong dengan pulasan bedak komplet, sasakan rambut, blus hijau muda motif bunga dipadukan dengan rok hitam selutut, dilengkapi kalung dan giwang mutiara putih yang gilap.”

Cakep, ya? Detail, lengkap, dan asik untuk diimajinasikan.

Cara penulis membuat sebuah adegan, tokoh dengan kelemahan, kemudian situasi yang harus dihadapi, pilihan-pilihan yang harus dibuat, membuat saya berkaca pada diri sendiri, kalau saya belum bisa seberani itu, bahkan belum sepintar itu meramu cerita. Saya banyak belajar dari naskah-naskah Okky Madasari meski baru baca dua novelnya.

Bagaimana ending ceritanya? Kalian perlu baca sendiri biar merasakan sensasinya!


°°Closing Statement

Resah, itu kunci dalam membuat karya. Saya turut merasakan keresahan-keresahan yang penulis ingin ungkapkan dalam karyanya. Pada naskah yang sebelumnya saya baca, Maryam, beliau dengan sangat berani membuat tokoh dari golongan kiri “Ahmadi” yang cenderung mendapat diskriminasi di negeri sendiri. Dalam naskah ini, keresahan terkait money politics menjadi highlight yang sangat menonjol. Seperti slogan yang sempat viral beberapa waktu lalu, “Lo punya duit, lo punya kuasa” benar-benar terejawantah dan tereksekusi dengan sangat apik dalam novel ini.


Aku suka karyamu, Okky Madasari.

Good job!


Banjarnegara, 29 April 2025