Perasaan saya tergelitik dan tergedor-gedor untuk membuat tulisan
setelah membaca novel ini. Pernyataan di sampul belakang ditulis “Inilah
kisah yang menelanjangi sisi buruk pernikahan. Para lajang, gemetarlah, karena
lelaki yang kaupikir Mr. Right bisa berubah menjadi Mr. Totally Wrong.” Dan
saya dibuat penasaran karenanya.
Pembukaan
cerita cukup membuat penasaran, dengan gaya bercerita dengan sedikit humoris,
Clara membuat novel ini mengalir dengan baik. Mulai menuju klimaks saat adanya
penamparan yang dilakukan Alan pada istrinya, Sassy, di hari ke dua honeymoon
mereka di Bali. Menurut Sassy, hal itu berada di luar dugaan. Selama satu tahun
perjalanan cinta mereka hingga ke pernikahan, Alan bukanlah sosok yang
menampakkan tabiat yang tak baik.
Saya ikut
gemas, ikut merasa sakit, seolah-olah sayalah yang berada pada posisi Sassy.
Apalagi mendapati sikap Sassy yang gampang meleleh karena mendengar kata-kata
cinta yang berlebihan dari Alan saat mengekspresikannya. Saya sebal, ternyata
ada ya lelaki seperti itu. Terlepas kisah ini adalah fiksi atau terinspirasi
dari kisah nyata, saya menilai Clara cukup cerdik dalam mendeskripsikan cerita
yang mungkin dapat dialami perempuan manapun di belahan dunia ini.
Saya
mencoba bersabar dengan kaliat-kalimat yang dituangkan di sana. Tapi saya
kembali gemas saat Alan mencoba melarang Sassy bergaul dengan sahabat-sahabat
terbaiknya. Bahkan ia kembali memukul Sassy saat perempuan itu sedang
mengandung benih cinta mereka. Saya begitu sakit hati dengan tuduhan Alan pada
Sassy tentang perselingkuhan yang dilakukan istrinya itu. Padahal sesungguhnya
Alan yang berselingkuh. Astaga.... “sakit” kayaknya cowok ini. Begitu melakukan
kekerasan dengan tamparan atau bogem mentahnya, Alan seolah-olah menjadi
pribadi lain saat mengucapkan kata maaf. Begitu lembut, begitu manis dan
romantis, dan sebagai perempuan, Sassy terpukau dengan perlakuan yang demikian.
Ah, saya
tak tahu lagi harus bersikap bagaimana bila menghadapi perlakuan serupa.
Pernyataan di belakang buku sebelumnya sempat meneror pikiran saya. Ya. Saya
memang gemetar, akhirnya. Baru kali ini mendapati novel yang sampai benar-benar
memuat saya sangat gemas, bete, sebel, kasihan, bahkan sempat merasa “takut”
untuk menikah. Hahaha...
Dan setelah
rampung di baca, mulut saya bergumam, WOW!
Memang
begitulah ekspresi saya membaca novel ini, begitu lugas, santai, humoris, tapi
pesan moralnya sangat bisa saya rasakan. Saya bahkan sempat mendesis, menangis,
dan tiba-tiba meletakkan novel ini, begitu saya mendapatkan kejadian dalam
cerita yang sedikit “meneror”.
Mungkin
komentar dan tulisan ini terkesan berlebihan, tapi memang itulah yang saya
rasakan. Tea for Two merupakan salah satu novel yang baik yang pernah
saya baca. Cukup memuaskan dahaga ketika saya menginginkan cerita yang penuh
“teror”. Kutipan yang saya suka ada di halaman 278.
“Cinta
yang sehat adalah cinta yang mengeluarkan arus positif untuk dapat saling
menghidupkan. Cinta yang penuh dengan penderitaan bukanlah tanah yang gembur
untuk dapat menumbuhkan benih apapun. Benih akan mati tercekik di tanah liat
yang kekurangan air.”
Great
Job, Clara! I like it....so much! J